Selamat Datang di Entikong: Jalur Padat Perdagangan Manusia | Asik Dibaca

Selamat Datang di Entikong: Jalur Padat Perdagangan Manusia

home design,business phone service,small business phone service provider,online accounting degree,online college schools
Nationwide there are greater than 35 million adults over 25 with some university credits, but no degree, according to the U.S. Census. the frenzy to attain those dropouts by way of Mississippi and other states, together with Indiana and Tennessee, displays a growing recognition that there just aren't sufficient college students coming out of U.S. high faculties to provide the quantity of university graduates the country needs.
tirto.id - Kisah mereka adalah kisah perjalanan ribuan kilometer, terdorong oleh kesempatan yang terbatas dan sulitnya pekerjaan, yang membuat mereka harus menyeberangi pulau, mendarat di sebuah lokasi yang tak mereka ketahui, dan belakangan menyadari mereka telah ditipu dan menjadi korban dari rantai dan jaringan perdagangan manusia.

Pada pertengahan Juli lalu saya datang ke sebuah lokasi itu, persis di tepi batas wilayah Serawak, sebuah daerah bernama Entikong, Kalimantan Barat. Dari Cengkareng, Anda mendarat di Pontianak, lalu melanjutkan perjalanan selama 5 jam dengan mobil untuk sampai ke wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia tersebut.

Di sana saya bertemu dengan Budi, bukan nama sebenarnya, seorang warga Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ia terpincut oleh cerita-cerita dari para tetangganya yang bekerja sebagai buruh migran yang mendapatkan gaji gede sehingga dengan cepat, dalam beberapa tahun, mampu membangun dan memoles rumah di kampung halaman.

Impian muluk itu mendorong tekad Budi mendaftar pada agen setempat. Tanpa banyak persiapan, beberapa hari kemudian, ia bersama enam orang lain berangkat menuju Malaysia melewati Pontianak, lalu menyeberang lewat jalur darat. Pria lulusan sekolah dasar ini tanpa sadar tengah dikadali. Ia menjadi satu dari seribuan "pekerja migran Indonesia ilegal" yang setiap hari jadi masalah para pegawai perbatasan kedua negara, bahkan dalam kasus-kasus terburuk memicu ketegangan nasional.

Budi dibawa oleh tekong, sebutan warga setempat untuk calo buruh migran ilegal.

Semula ia senang bisa berangkat ke Malaysia tanpa biaya di muka, dan boleh membayar saat mulai bekerja. Semua pengeluarannya sebelum tiba ke Malaysia ditanggung tekong.

Ia dan beberapa orang lain diantar dari satu tempat ke tempat lain oleh orang berbeda. Dari kampung ia dibawa seorang pria; setibanya di Pontianak, sudah ada pria lain yang menjemput mereka.

“Kami tidak kenal siapa orang-orang itu,” ujarnya, tanpa merasa curiga pada awalnya.

Rombongan Budi melakukan perjalanan darat sekitar enam jam bersama pria kedua menuju Segumun, sebuah desa di Kabupaten Sanggau, satu dari lima kabupaten di Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Serawak. Sampai di sana, orang-orang yang mengendarai sepeda motor sigap membawa mereka menyeberangi perbatasan. Namun, ojek yang ditumpangi Budi tidak melewati jalan utama menuju tempat pemeriksaan imigrasi Pos Lintas Batas tradisional di desa tersebut, melainkan berbelok ke jalan kecil menerabas hutan.

Sekitar setengah jam kemudian, rombongan pencari kerja migran itu berhenti mendadak karena berpapasan dengan patroli petugas gabungan. Kejadian selanjutnya bisa ditebak: Budi diinterogasi, ditanyai kelengkapan dokumen, dan akhirnya digiring menuju kantor imigrasi setempat.

Budi gagal kerja di Malaysia. Ia harus bersiap kembali ke kampung halaman tanpa membawa modal untuk membangun rumah.

“Agen utamanya berada di Malaysia, jadi tak bisa ditangkap,” ujar Tri Hananda Reza, Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Entikong saat menjawab soal tantangan menghadapi buruh migran ilegal.

Reza mengatakan, untuk bisa bekerja di Malaysia, orang seperti Budi cukup membayar Rp3-7 juta kepada agen. Uang ini akan dibayar ketika tiba di Serawak. Para buruh migran ilegal jamak disalurkan untuk kerja-kerja kasar seperti buruh kebun, bangunan, dan pembantu rumah tangga, profesi yang ogah dikerjakan dan dipandang sebelah mata oleh warga Malaysia.

"Tapi, tenaga warga Indonesia dimanfaatkan oleh oknum," ujar Reja, sedikit menghela napas. "Karena minim kesempatan kerja di daerah asal."

Sumber : Tirto.id
close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==
F